-->

Menjadi Juri Kompetisi Bahasa Inggris di Jepang

OLEH FARAH ELSA NOVA, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, melaporkan dari Osaka,Jepang
Kerja sama antara Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala dengan beberapa universitas di Jepangsejak 2012-2016 membuat belasan mahasiswa Unsyiah, termasuk saya, berkesempatan mendapat beasiswa untuk belajar di Negeri Matahari Terbit itu. Masa belajar memang hanya satu semester, namun pengalaman untuk ikut program akademik semacam itu, saya yakini, berpengaruh besar bagi saya. Saya belajar di level S1 di Osaka School of International Public Policy (OSIPP).
Sebagai mahasiswa, di samping mengikuti empat mata kuliah, saya harus membuat sebuah proposal riset yang terkait dengan peace and human security dan mendapat bimbingan dari profesor yang terkait dengan isu tersebut. Itu saja sudah tak terkira manfaatnya.
Tak terasa, saya sudah melewati sebulan lebih masa studi saya di Osaka University. Memang bukan hal mudah, khususnya dalam hal penyesuaian diri dengan kondisi yang ada. Suhu sekitar 10 derajat Celcius setiap harinya (padahal di Aceh kita biasa dengan suhu 35 derajat Celcius), makanan yang berbeda seperti bumi dengan langit dalam hal jenis dan rasa dibanding yang di Aceh, juga mengenai transportasi dan komunikasi.
Namun, sebulan saya rasa sangat cukup untuk bisa memanjakan diri dengan udara yang sejuk itu, berikut keramahtamahan wargaJepang, kepatuhannya terhadap aturan, dan teknologi supercanggih yang membuat saya tak berhenti tercengang. Seluruh petunjuk diberikan dengan baik dan tidak membingungkan. Soal disiplin waktu? Bukan main. Bagi mereka, lebih baik menunggu satu jam daripada telat satu menit jika harus mengikuti suatu kegiatan. Beda ya dengan kita di Indonesia: kalau tidak telat, rasanya tidak enak tidur!
Di luar penyesuaian diri itu, saya mendapatkan pengalaman yang tak pernah terlupakan. Pertama, 10 Oktober lalu, karena jumlah penari tak cukup, saya diajak untuk ikut mempertunjukkan tari saman dalam acara Indonesian Perfoming Art 2015 oleh Persatuan Pelajar Islam (PPI) Osaka-Nara yang merupakan salah satu even terbesar dan diselenggarakan hanya tiga tahun sekali di Minoh Green Hal, turut dihadiri oleh KBRI Tokyo dan KJRI Osaka.
Sungguh menjadi sebuah keberuntungan bagi saya dapat memperkenalkan kebudayaan Indonesia, khususnya tari saman itu, di hadapan sekitar 500 warga Jepang dan juga WNI yang terlihat sangat antusias. Awalnya, saya sungguh tak pernah membayangkan diajak ikut dalam acara semacam itu. Saya hanya bisa merasa bersyukur bahwa di Unsyiah saya pernah belajar tari saman yang sudah sangat dikenal dan sering dipertunjukkan oleh delegasi Indonesia di berbagai negara.
Pengalaman kedua, saya bersama Fransisco, mahasiswa S2 dari Filipina, dipercaya menjadi juri pada kompetisi bahasa Inggris! Terpikir dalam benak saya, “Apalagi ini?” Tapi saya senang bukan main. Acara itu dinamakan 13th English Competition, karena sudah berlangsung 13 kali, bertempat di Kinran Senri Junior High School. Kinran-Senri Junior High School Headmaster, Ken Tsujimoto, dan Head of English Department, Keiji Moriwaki, menyambut dengan sangat ramah kami berdua. Mereka mengajak saya karena mereka mengenal Prof Akihasa Matsuno, pembimbing saya di OSIPP. Enakkah menjadi juri? Awalnya saya merasa ragu. Namun, setelah kami menjalaninya, saya merasa bahkan lebih enak menjadi juri dibanding menjadi panitia atau peserta kompetisi. Menjadi panitia, pasti akan teramat sangat sibuk. Jika menjadi peserta, pasti juga akan ada rasa grogi, deg-degan selama tampil. Tapi menjadi juri, saya memiliki banyak kesempatan untuk memberikan komentar dan penilaian terhadap para peserta yang tampil. Pesertanya adalah siswa kelas 1, 2, dan 3 gabungan tingkat SMP dan SMA berjumlah 100 orang. Mereka mendapat dukungan penuh dari ayah dan ibu mereka yang memenuhi ruang kompetisi. Saya pernah dengar bahwa orang Jepang itu sangat gigih dalam berusaha, demikian juga yang saya lihat saat kompetisi. Banyak siswa yang belum bisa melafalkan berbagai kata dalam bahasa Inggris dengan benar (tentu menurut ukuran saya), tapi saya salut karena mereka berusaha untuk bisa tampil menjadi yang terbaik setiap saat.
Tibalah waktu untuk mengumumkan siapa yang layak menjadi juara. Kami (di samping Franciso, ada dua guru bahasa Inggris sekolah tersebut) melihat kembali nilai-nilai yang diperoleh dan kemudian menentukan pemenangnya. Suasana hening sesaat, kemudian riuh dengan tepuk tangan ketika nama-nama pemenang diumumkan. Kemudian kami diminta menyampaikan closing statement di hadapan seluruh peserta. Setelah selesai acara, saya merasa mendapat kejutan kecil lagi ketika saya diminta oleh sekolah itu untuk mengajar bahasa Inggris untuk siswa-siswa mereka. Saya tersenyum dan berterima kasih. Tawaran itu adalah sesuatu yang tak mungkin saya penuhi.
Demikianlah sekelumit pengalaman yang saya alami. Saya yakin bahwa akan ada pengalaman-pengalaman dan pengetahuan baru lainnya untuk masa tinggal saya yang sekitar empat bulan lagi di Negeri Sakura ini.