-->

Irwandi Yusuf memberikan sebuah Ide di forum aceh.net dengan judul "TRIGGER HAPPY"

TRIGGER HAPPY
Trigger Happy adalah suatu kecendrungan aparat penegak hukum atau siapapun yang mudah terprovokasi untuk menembak, sering sekali diluar prosedur.
Kasus yang terjadi di Gandapura kemaren adalah sebuah contoh dari trigger happy aparat.
Tersangka memang membawa senjata api untuk melakukan kegiatan penculikan terhadap aparat pemerintah yg telah menipunya dgn mengambil sejumlah uang dgn iming-iming proyek yang tidak dimenangkan oleh korban dan korban telah berkali-kali meminta uangnya kembali tetapi si PNS ini selalu berkelit sehingga terjadilah drama penculikan itu.
Memiliki dan membawa senjata api illegal adalah salah. Menggunakannya lebih salah lagi. Kalau tersangka pelakunya menggunakan senjata itu thd aparat penegak hukum maka aparat penegak hukum dapat melumpuhkannya dengan kekerasan, termasuk dgn tembakan.
Bagaimana kalau tersangka menenteng senjata dalam keadaan tidak terkokang atau tidak dalam posisi siap tembak, bolehkah polisi langsung menembaknya mati?
Untuk mengetahui apakah senjata tersangka sdh terkokang atau belum memang bukan perkara mudah. Yang paling mudah adalah mengetahui senjata itu ada dalam posisi siap tembak atau tidak. Maksud posisi disini, senjatanya diarahkan atau tidak. Kalau jawabannya TIDAK maka polisi harus memintanya untuk menaruh senjata lebih dahulu dan menyerah. Dalam fase ini polisi tidak boleh menembak tersangka.
Kasus trigger happy banyak sekali terjadi. Contoh-contohnya sudah sangat banyak, bahkan ada contoh yang lebih konyol dari yang terjadi di Gandapura. Penembakan terhadap si Beurujuek di sebuah pompa bensin tempo hari adalah contoh pelanggaran hukum oleh aparat penegak hukum. Tersangka yang diburu dan tidak bersenjata serta sudah nenyerah tetap ditembak dari jarak sangat dekat padahal polisi sudah mengepit kepala tersangka dalam ketiaknya. Dorrr. Ini semua terekam dalam cctv di tempat itu, tetapi rekamannya sudah diminta oleh aparat kepolisian.
Setelah setiap terjadi penembakan secara tidak prosedural biasanya aparat penegak hukum mengarang cerita untuk menjustifikasi pembunuhan yang telah mereka lakukan. Dan, sering berhasil.
Nah, disini timbul oermasalahannya. Mata dunia dapat kita tipu dan kita kelabui, tetapi tanggung jawab akhirat terhadap hilangnya nyawa orang dapatkah kita pertanggungjawabkan kelak? Tidak dan tidak. Baik si pelaku maupun atasan pelaku akan kena tulah ukhrawi. Ingat, dosa membunuh manusia tidak ada ampunannya kecuali dgn qishas ataupun dimaafkan oleh keluarga korban. Tidak ada cara lain.
Sewaktu masih muda mungkin kita bangga dan merasa heroik telah menembak orang, tapi nanti di usia tua tatkala kita mulai lebih banyak tafskkur di atas sajadah, kita pasti teringat dengan kesalahan masa lalu yaitu pernah membunuh orang dan kita tersadar bahwa dosa kita tidak terampunkan dan ibadah kita menjadi sia-sia. Maka, harus ada solusinya: Qishas untuk diampunkan melalui pemaafan ataupun melalui hukuman.
Maka, setelah melihat tindakan penghilangan nyawa orang yg cenderung meningkat dari tahun ke tahun di kalangan sipil, sangatlah perlu diterbitkan Qanun Qishas untuk pembunuhan. Tujuannya adalah sebagai deterrent untuk melindungi nyawa nanusia dan juga sebagai sarana bagi yang terlanjur membunuh untuk menghapus dosanya. Singkat dan tidak bertele-tele. Qishas itu dibutuhkan bersama oleh korban dan pelaku.
Untuk mencegah trigger happy di kalangan aparat negara maka sudah saatnya Pengadilan HAM ditubuhkan di Aceh sebagaimana yang telah dicantumkan dalam MoU Helsinki, juga sebagai model bagi provinsi lain di Indonesia. Aceh sudah banyak memberi contoh untuk nasional dan akan tetap memberi contoh lagi.
Tulisan singkat ini jauh dari sempurna dan ditulis ketika baru bangun tidur. Kalau ada yang kurang sesuai dapat disesuaikan kemudian, yang penting nyawa manusia diselamatkan dulu. Untuk itu, saya mohon masukan tanpa cemoohan dan celaan.
Wallahua'lam.