Aceh tempo doeloe, banyak melahirkan penulis hebat. Tulisan-tulisan mereka, bukan saja dibaca kalangan intelektual lokal di Nusantara. Tetapi juga, para ilmuan di mancanegara. Tingkatan ilmu pengetahuan yang mereka tulis pun terbilang level tinggi dan bermanfaat dalam kehidupan beragama, sosial kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan.
Bahkan, pokok-pokok pikiran penulis Aceh yang dituangkan dalam bentuk buku itu, menjadi bahan rujukan pada negara-negara Timur Tengah dan Asia, termasuk Malaysia, Thailand, dan Brunai Darussalam. Karya mereka, selalu dibaca, dipelajari, dianalisa, dan diaplikasikan dalam kehidupan.
Dari sekian banyak penulis Aceh, tersebutlah di antaranya Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf Al-Singkili yang notabene berasal dari Singkil. Duo penulis ini, tergolong penulis produktif dan top yang pernah dimiliki Indonesia.
Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf al-Singkili, telah menghasilkan karya yang luar biasa mencerahkan, menginspirasi sekaligus menjadi bahan dakwah tak hanya bagi kaum muslimin Indonesia juga mancanegara.
Dalam suatu riwayat dinukilkan, Syekh Hamzah Fansuri, adalah seorang pujangga yang menoreh syair-syair sufi dan sastra relegi yang berbahasa Melayu. Hamzah Fansuri, telah menghasilkan sejumlah karya masterpiece. Seperti, Syair Perahu, Burung Pinggai, Syair Dagang, Syair Sidang Fakir dan sejumlah syair-syair lainnya. Di samping itu, ada juga hasil karyanya dalam bentuk prosa seperti, Asyirabul asyiqin dan Asrarul Arifin Fibayan Suluk wal tauhid. Konon, karya-karya Syekh Hamzah Fansuri yang lain, banyak dibakar di depan masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Begitu hebat dan piawainya Syekh Hamzah Fansuri dalam meracik syair-syairnya, membuat Prof. Dr. Naguib Alatas, Sastrawan dari Malaysia memberi gelar padanya Jalaluddin Rumi-nya Nusantara. Alasan pemberian gelar ini, karena Syekh Hamzah Fansuri tergolong penyair sufi yang tiadataranya di Nusantara. Tidak saja di zamannya malah sampai sekarang.
Kepeloporan Syekh Hamzah Fansuri di bidang Sastra Melayu diakui oleh pakar Belanda Francois Valentijn yang pernah datang ke Aceh sekitar 1345 M atau 744 H (tulisan M. Junus Djamil), dengan bukunya Oud en Niew Oost-Indien (1726). Valentijn mengatakan, Syekh Hamzah Fansuri telah berhasil dan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syair yang digubahnya (Sri Suyanta, 1998).
Winsteld dalam bukunya “A History of classical Malay Literatur” mengatakan, “ Hamzah Fansuri in sumatera is the earliest and greatest of Acheh’s group of writers on hereticalon”
Di samping penulis dan penyair, Syekh Hamzah Fansuri termasuk pengembang ajaran tasawuf wahdatul wujud (wujudiyyah) yang dicetuskan oleh Ibnu Arabi. Syekh Hamzah Fansuri juga pendakwah ulung. Ajaran-ajaran Islam dikupas dan disampaikannya dengan retorika menarik dan memukau. Jabaran-jabaran isi dakwahnya, diselingi dengan syair-syair.
Dalam berdakwah, Syekh Hamzah Fansuri, sering berpindah-pindah tempat, berkelana hingga ke pelosok Nusantara dan mancanegara. Antara lain, beliau pernah ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkah, dan Madinah. Dengan adanya kiprah Syekh Hamzah Fansuri ini membuat nama beliau dan Aceh sangat harum di kalangan ulama-ulama Nusantara dan mancanegara.
***
Sementara itu, Syekh Abdurrauf al-Singkili yang lahir di Singkil pada tahun 1105 H atau 1615 (versi lain tahun 1620), termasuk penulis sukses. Di samping beliau menjadi Mufti Agung dan Qadhi Malik al-Adil di Kerajaan Aceh Darussalam. Ia juga tampil di pentas intelektual Nusantara. Ia tergolong ulama yang sangat produktif dalam menulis. Karyanya mulai dari ilmu tasawuf hingga fikih. Ada sekitar dua puluh dua karya (kitab). Satu buah kitab tafsir, dua buah kitab hadis, tiga kitab fikih, dan sisanya kitab tasawuf.
Sementara itu, Syekh Abdurrauf al-Singkili yang lahir di Singkil pada tahun 1105 H atau 1615 (versi lain tahun 1620), termasuk penulis sukses. Di samping beliau menjadi Mufti Agung dan Qadhi Malik al-Adil di Kerajaan Aceh Darussalam. Ia juga tampil di pentas intelektual Nusantara. Ia tergolong ulama yang sangat produktif dalam menulis. Karyanya mulai dari ilmu tasawuf hingga fikih. Ada sekitar dua puluh dua karya (kitab). Satu buah kitab tafsir, dua buah kitab hadis, tiga kitab fikih, dan sisanya kitab tasawuf.
Syekh Abdurraf al-Singkil menulis kitabnya dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman al Mustafid, diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu.
Mir’at at-Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab, merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fikih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih mazhab Syafiie. Kitab ini menjadi panduan para qadhi di Kerajaan Aceh Darussalam.
Di bidang tasawuf, karyanya antara lain Kifayatul al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin, Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syekh Abdurrauf. Kitab ini yang terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain tentang zikir, sifat-sifat Allah, dan Rasulnya serta asal-usul mistik.
Karya-karya Syekh Abdurrauf al-Singkili yang sempat dipublikasi murid-muridnya, antara lain. Pertama, Mir’at al-Thullab fi Tasyil Mawa’iz al Badi’rifat al-Ahkam al- Syari’yyah lil Malik al-Wahhab. Karya dibidang fiqh atau hukum Islam yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin. Dua, Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama tafsir al-Quran yang lengkap berbahasa Melayu. Tiga, terjemahan hadis Arba’in karya Imam al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
Empat, Mawa’iz al-Badi’. Berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak. Lima,Tanbih al-Msyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat tentang martabat tujuh. Enam, Kifayat al- Muhtajin ila Masyarah al- Muwahhidin al-Qailin bi wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep Wahadatul Wujud. Daqaiq al-Hurf. Pengajaran tentang tasawuf dan teologi.
Di samping tugasnya sebagai Mufti Agung di kerajaan Aceh Darussalam, Syekh Abdurrauf al-Singkili terus mendarmabaktikan dan menyebarkan ilmu pengetahuan agama kepada masyarakat dengan menjadi seorang da’i dan guru. Beliau juga, sebagai khalifah Tarekat Sufi Syattariah. Sehingga tarekat ini menjadi sangat dominan dalam penghayatan agama dalam Kerajaan Aceh.
Teladani
Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf al-Singkili juga ulama-ulama penulis lain di Aceh, telah lama berpulang keramatullah. Namun, ilmu dan karya-karya yang ditorehkan mereka dalam bentuk buku, masih abadi. Generasi muda sekarang dan akan datang masih bisa membacanya.
Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf al-Singkili juga ulama-ulama penulis lain di Aceh, telah lama berpulang keramatullah. Namun, ilmu dan karya-karya yang ditorehkan mereka dalam bentuk buku, masih abadi. Generasi muda sekarang dan akan datang masih bisa membacanya.
Dari titik ini, ada hikmah yang bisa dipetik. Para ulama atau ilmuan Aceh tempo doeloe sangat bersemangat, dalam menimbah ilmu, mengasah ilmunya dan piawai menuangkan ilmu yang mereka miliki itu, dalam kitab-kitab.
Hal ini perlu diteladani oleh generasi muda, calon intelektual. Karena, setinggi apapun ilmu, abadi. Dibaca oleh banyak orang, bahkan melampui batas usia penulisnya.
Apapun yang diketahui, dengar, dan lihat tidak akan bermakna dan bermanfaat untuk pengembangan diri dan masyarakat, bila apa yang ketahui, dengar, dan amati itu tidak pernah “diikat” atau tulis. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya”.
Mengikat atau menulis merupakan aktifitas penting yang tidak boleh disepelekan. Dengan menulis berarti telah mengumpulkan satu kepingan makna. Kepingan makna ini, kita koloborasi dan kombinasikan dengan kepingan makna yang lain, akan membentuk makna baru. Makna baru yang dimaksud, tentunya makna yang menyadarkan dan mencerahkan. Nah, makna yang demikian itulah yang telah disajikan duo ulama dari Singkil, yaitu : Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf As Singkili.[]
sumber : acehtrend.co